Senin, 13 Juni 2011

Eat, Play & Laugh (Part 1)

Sebuah perjalanan nekat 8 (delapan) anak manusia
By : Deve L. Tampubolon


Jika Elizabeth Gilbert punya kisah perjalanan yang menarik hingga dibukukan dan laris keras (Eat, Pray & Love-red), bahkan Oprah Winfrey membuat 2x wawancara khusus hanya untuk membahas perjalanan personalnya, maka perjalanan saya, dkk tidaklah se-bombastis Elizabeth Gilbert. Jangan juga berharap kalau perjalanan ini akan ada dilayar lebar, bahkan dilayar kecilpun tidak akan. Tetapi bagi saya, dkk (minimal saya) perjalanan ini punya tempat khusus di memori yang terbatas ini. Ada sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah perjalanan, liburan dan hura-hura. Ada pelajaran berharga tentang alam dan tentang manusia. Perjalanan yang membuat saya takjub dengan ciptaan Tuhan, bukan hanya panorama dan fenomena alam, tapi juga takjub dengan mahkota ciptaanNya, yaitu manusia yang ada bersama-sama saya dalam perjalanan ini.

Ada eat, play & laugh dalam perjalanan kami kali ini!

Cisarua, 15 Januari 2010


Menerima SMS yang mengharukan buat saya, isinya kurang lebih demikian :

“Udah di booking tiket 22-27 April ke Bali. Gw yang bayar tiket, tapi kalian tanggung akomodasi gw yah…
:D “

Waktu menerima SMS ini, sikap sanguin saya sangat mendominasi. Pikir saya “Wah, baik sekali Kakak ku yang satu ini, tahu aja kalau adikknya seorang hamba Tuhan dengan penghasilan yang pas-pas-an.”. Dengan sigap saya langsung texting seorang teman yang lain “Wuihh, baik sekali yah,, mau bayarin tiket”. Segera dijawab “Duh, Pe,, jangan polos-polos amat dong”.

Ah masa iya saya polos? Mungkin saja iya, mungkin juga tidak. Tapi tidak salah kan jika saya berpikir optimis... =)

Tapi, optimis atau naif? Hahahaha....

Bus Damri, 22 April 2011, 13.45-15.00 WIB


Pak Cik Amri, pelancong asal negeri Jiran yang kebetulan duduk disamping saya. Lantas dalam perjalanan kami bertukar cerita tentang perbedaan kultur, sistem pendidikan, sistem politik, clash yang sering terjadi antar negara yang katanya serumpun ini ( INA dan Malaysia). Kami pun saling membanggakan keindahan alam satu dengan yang lain. Bahkan Pak Cik ini menawarkan rumahnya jika saya nanti kembali berkunjung ke KL.

Ah, tapi maaf sekali Pak Cik, saya kapok ke Kuala Lumpur... :)


Soetta, 22 April 2011

Semangat ‘45 karena akhirnya saya akan menginjak Bali.

Perut keroncongan. Berhubung check in dalam kondisi mepet maka tidak sempat makan. Lalu secara acak memilih tempat makan yang ada di Bandara Terminal 3. Pilihan jatuh pada Nasi Goreng. Dan harganya? Rp26.000,-. Bagi sebagian orang mungkin harga ini tidak terlalu masalah, tapi untuk saya, ini pengalaman pertama dan terakhir kali makan nasi goreng semahal ini. Tapi apa benar ini yang terakhir? Nampaknya tidak.

Pelajaran pertama tentang Eat : Ternyata harga tidak menentukan kualitas makanan. Harga nasi goreng Rp26 rb masih kalah enak dengan Nasi Goreng si Udin yang harganya Rp7rb.

Ah,, diresponi dengan tertawa saja... :) Lain kali, isi perutnya jauh sebelum masuk area bandara. Good lesson.


Denpasar, 22 April 2011


Akhirnya sampai juga di tanah yang kata orang Paradise.

Seperti judul tulisan ini, perjalanan di Bali inipun dimulai dengan Eat. Maka kami pun memulai perjalanan ini dengan mampir ke warung nasi, namanya Nasi Pedas Bu Andika (Jl. Raya Kuta). Kesan pertama saya bagi warung ini adalah antriannya yang cukup panjang untuk memesan makanan. Apakah bisa dijadikan indikator kalau tempat makan yang banyak peminatnya itu berarti enak? Kali ini hipotesa saya benar. Ya, memang enak dan harga pun tidak terlalu mahal yaitu dikisaran Rp10-20rb.




Warning
: Hati-hati dengan orang yang tidak tahan dengan makanan pedas, karena tepat seperti namanya, makanan yang ada disini memang sangat pedas. Tapi ada juga beberapa menu yang tidak pedas bagi mereka yang mau..

Lanjut ke perhentian berikutnya. Apa? Yaitu Mall. Hahh,, jauh-jauh ke Bali tapi nangkringnya ke mall. Hmmm,, baiklah, kita lihat apa bedanya mall di Bali & Jakarta.

Discovery Mall, just like any others mall in Jakarta. Hanya bedanya, mall ini tepat berada dipinggir pantai. Sayang sekali kami tiba disana sudah malam, hanya sight-seeing beberapa club yang ada disekitar mall dan tidak berminat masuk. Selain masalah ‘asing’, bagi saya juga masalah’kocek’....=)

@ Discovery Mall : Jo, Deve, Juli & Kotel (invisible)

Dan tentunya yang tidak terlewatkan, yaitu apa? Ya, memoto, dipoto dan dipoto… =)


Padang Bay, 22 April 2011

Kalau bisa menambahkan sub judul dari tulisan ini, saya akan menambahkan kalimat "Perjalanan Nekat".

Dalam perjalanan dari Padang Bay menuju pelabuhan lembar, kami 'nekat' sewa kamar ABK dengan harga Rp50rb (3 tempat tidur). Kami 'nekat' tidur ditempat yang tidak bisa dibilang bersih. Lantas, demi menghilangkan mual akibat mabuk laut dan rasa jijik karena tempat yang kurang ‘kooperatif’, saya dan Jo buru-buru menenggak antimo, supaya segera mengantuk dan tidur.

Tapi saya bersyukur bisa dapat kamar di kapal ini, kalau tidak, saya tidak bisa membayangkan tidur diluar dengan angin laut di malam hari, yang ada nanti bukan menikmati libur, tapi sakit waktu liburan.

Butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan dari Padang Bay menuju Lembar. Walaupun kondisi kamar dan ombak laut yang sangat tidak menyenangkan, tapi toh saya, dkk tidur cukup lelap juga... =).. Thanks to antimo!

Pengalaman pertama yang menarik! Oiya, info tambahan : Harga tiket kapal Padang Bay – Lembar >> Rp 36rb.


Lembar (Nusa Tenggara Barat), 23 April 2011

Kami tiba sekitar pukul 04.00 WITA dini hari dan disambut oleh beberapa fans (baca: calo mobil) yang menawarkan jasa mereka dengan sedikit intimidasi. Sambil menunggu pagi yang lebih siang, kami mampir disebuah kedai kopi. Lalu memesan 4 gelas teh manis panas. Sambil menyuruput teh yang bisa dibilang tidak panas dan tidak manis, kami sibuk dengan ‘kegiatan’ kami masing-masing. Saya dan Jo bersandar ke tas masing-masing dan memanfaatkan waktu sesaat untuk tidur. Juli, entah apa yang dia kerjakan, tidak terlihat oleh saya. Kotel, ngobrol-ngobrol dengan supir dan kenek yang ada di pangkalan itu.

Peringatan bagi yang pertama kali ada di Pelabuhan Lembar, harus berhati-hati dengan calo-calo yang ada disana. Sepanjang kami disana, mereka (baca: calo) sangat gencar melancarkan bujuk rayu mereka, bahkan sampai sedikit mengintimidasi. Jika memang tidak yakin apakah akan naik angkot mereka, dilarang keras untuk mencoba menawar. Cukup senyum manis dan bilang kami sudah ada yang akan jemput... =)

Kurang lebih 2 jam kami ada kedai itu, dan akhirnya kami naik ke salah satu angkot yang trayeknya menuju Mataram. Kami membayar harga sekitar Rp15rb per orang dengan waktu tempuh sekitar 60-90 menit.

Dalam perjalanan menuju Mataram, Pak sopir (yang saya tidak tahu namanya) ini banyak bercerita tentang ‘keunikan’ Mataram. Misalnya : Beliau bercerita, bahwa pernah satu kali dia mengantarkan penumpangnya ke terminal Mataram dan di terminal ini penumpangnya tersebut dirampok habis-habisan oleh perampok disana. Dengan pengalaman yang demikian maka beliau tidak berani menurunkan kami ditengah terminal. Beliau rela menunggui kami sampai dijemput dan memastikan bahwa kami aman.

Pikir saya “Wah ternyata masih banyak orang baik yang peduli dengan keselamatan orang lain, orang lain yang mungkin baru kali ini dia kenal dan mungkin yang tidak akan dia jumpai lagi”.

Terima kasih banyak Pak Sopir! Saya menyesal tidak tanya nama Bapak. Dalam waktu teduh, saya berfikir kalau ini adalah salah satu cara Tuhan menjaga kami di daerah yang sama sekali baru bagi kami.


Mataram, 23 April 2011


Kalau ada peribahasa “lepas dari mulut singa masuk mulut buaya” yang punya konotasi negatif. Maka saya pun punya peribahasa bagi orang-orang yang saya temui di Mataram, “lepas dari satu malaikat, bertemu dengan malaikat lainnya”. Tidak berlebihan rasanya saya mengarang peribahasa yang mungkin hanya akan ditemui didalam tulisan ini saja, karena saya memang banyak bertemu malaikat yang Tuhan kasih disana.

Sekitar pukul 07.00 WITA kami tiba di pusat kota. Namanya Om Oneng, beliaulah yang menjemput kami dengan mobil pick-up nya. Dengan murah hatinya beliau mengajak kami ke rumahnya untuk kami bisa beristirahat sejenak dan bersih-bersih badan.

Yang menakjubkan buat saya tentang pertemuan kami dengan Om Oneng adalah, bahwa tidak ada satupun dari kami yang pernah ketemu muka dengan Om Oneng. Selama ini yang berkorespondensi itu Kotel dan via kaskus. Dan pada saat menjemput kami itulah, kami pertama kali berkenalan (khususnya saya, Jo & Juli). Om Oneng pun tidak tahu tampang dari masing-masing kami seperti apa. Sulit bagi saya untuk menjelaskan bagaimana perasaan saya saat itu waktu tahu kondisi sebenarnya, antara perasaan heran, exited, semi-detektif dan senang.

Setibanya dirumah Om Oneng, kami disambut dengan sangat hangat oleh Bunda (istri Om Oneng). Seperti menyambut sahabatnya, Bunda sibuk mempersiapkan sarapan buat kami. Teh manis panas (kali ini benar manis dan panas) dan indomie rebus yang Bunda siapkan untuk sarapan.

Dalam percakapan dengan keluarga Om Oneng, kami bertanya sama beliau kenapa mau membuka rumahnya untuk orang-orang yang baru dia kenal. Beliau menjawab “Sederhana saja, saya ingin punya banyak saudara!”.

Saya cukup kagum dengan cita-cita dan impian yang dimiliki oleh Om Oneng dan keluarga. Bagi beliau impian tersebut sederhana, tapi bagi saya itu sebuah impian besar, karena tidak mudah mewujudkannya. Dibutuhkan keluasan hati bagi Om Oneng dan keluarganya untuk membuka rumah, membuka hati mereka setiap waktu dan bagi setiap orang yang mungkin belum pernah mereka temui. Belum lagi mereka juga harus waspada akan bahaya yang mungkin saja bisa mereka alami karena menerima orang yang baru. Sekali lagi buat saya ini bukan impian murahan tapi impian yang mulia dan indah.

Hospitality seperti ini yang nampaknya jadi barang mahal dan langka di bangsa ini. Jika saja seluruh orang-orang Indonesia punya hospitality seperti Om Oneng dan keluarga maka Indonesia akan jadi rumah yang nyaman bagi setiap orang yang datang, tinggal dan menetap.

Lalu apa yang terjadi dengan kami?

Menyantap habis teh manis panas dan indomi telur yang disuguhkan Bunda. Kenyang!

Lalu kami diizinkan untuk membersihkan diri. Kata Bunda “Rasain air lombok, beda dengan Jakarta”. Iya Bunda, memang beda, lebih segar dan dingin.

Setelah mandi, bersih-bersih lantas Om Oneng mengantarkan kami ke tempat penyewaan motor. Harga sewa motor matic Rp50rb per hari (24 jam) diluar bensin.

Satu lagi yang membuat saya takjub dengan kota Mataram, yaitu jam ‘kehidupan’ nya. Kota ini bisa dibilang 'hidup' jika diatas jam 10 pagi. Seluruh akrivitas perniagaan baru dimulai biasanya diatas jam 10 pagi. Walhasil, kami (Om Oneng, Kotel & saya) yang datang agak pagi sekitar 8.30 jadi agak kelimpungan dan harus menunggu. Kami memutuskan untuk cari tempat lain yang siapa tahu sudah buka. Pun, kami tidak dapat hasil apa-apa. Tapi bagi saya, lumayanlah bisa diajak keliling kota sama Om Oneng.

Juli dan Jo tinggal dirumah sementara kami mencari sewaan motor. Ternyata, dirumah mereka kembali ‘dijejali’ makanan oleh Bunda, Plecing Kangkung namanya. Makanan ini sejenis Pecel Kangkung yang ada di Jakarta, tapi yang membuat unik itu sambal plecingnya, dan rasanya sangat, sangat pedas.



Alamak pedas pangkat lima!

Darimana saya tahu? Karena saya, Kotel dan Om Oneng pun ikutan dapat jatah dari Bunda... =)






to be continued .... in Eat, Play and Laugh (Part 2)