Minggu, 21 Februari 2010

tempurung kura-ku

Lebarnya 3x 4 meter. Letaknya di pinggiran daerah Jawa Barat. Disudut bangunan yang cukup megah, atau jika memang kurang tepat, bolehlah dikatakan besar saja. Dilapisi warna merah muda disetiap keseluruhan dindingnya, sperti mengisyaratkan gairah muda si penghuninya, juga urat - urat halus pada dinding yang mencoba memecahkan kokohnya dinding. Tempatnya biasa saja, tidak ada barang mewah yang ada didalamnya, hanya terdapat barang-barang kebutuhan sang penghuninya. Hanya ada kasur tanpa rangkanya, tergeletak begitu saja di lantai. Sebuah TV 14 inch yang mulai tua, sebuah radio yang juga sudah mulai tua, lemari baju yang pun sudah mulai lapuk dan beberapa perlengkapan alat makan. Yang berharga bagi si penghuni hanya sejumlah deretan rak yang berisi buku-buku. Itu saja. Biasa bukan.

Kesimpulannya, tidak ada yang menarik ada tempat itu. Tetapi, mengapa sang penghuni sepertinya enggan beranjak dari tempat yang orang-orang sebut sebagai “gubuk” -nya? Ada apa dengan tempat itu?

Selidik punya selidik, ternyata dibalik semua kesederhaan dan ke “biasa” an tempat itu, tempat itu punya makna mendalam bagi sang penghuni. Setiap paginya ketika si penghuni menyapa TUHAN-nya, dia melakukannya ditempat ini. Ditengah riuhnya aktivitas dan padatnya pekerjaan sang penghuni, tempat itu merupakan tempat bagi sang penghuni untuk menarik diri dan berdiam sementara. Tempat itu merupakan tempat dia “berlindung” dari yang dia sebut bahaya. Mungkin tidak banyak orang yang tahu, bahwa tempat itu tempat dia mencurahkan segala isi hati nya pada SANG PENCIPTA, tempat dia melakukan banyak hal tanpa merasa terintimidasi, tanpa merasa bersalah dan bisa menjadi diri sendiri.

Tempat itu pun tempat dia berbagi suka dengan orang-orang yang dia kasihi, tempat banyak orang untuk menceritakan segala pergumulan hidup mereka, tempat teman-temannya untuk mengerjakan tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Bahkan tempat itu pun menjadi tempat bagi teman-temanya untuk melakukan hal yang remeh saja, misal hanya sekedar numpang mandi, numpang tidur, tempat ‘bergosip’. Remeh bukan. Tempat itu “kamar pengungsian” demikian kata sahabat-sahabatnya. Bangga-nya hati sang penghuni, jika tempat yang begitu sederhana menjadi tempat yang memberikan banyak hal bagi orang-orang disekitarnya.

Saking nyamannya tempat ini, sang penghuni sampai enggan beranjak walaupun PENCIPTA-nya menghendakinya.

Sang penghuni menamakan tempat ini “Tempurung Kura-Kura” nya. Benarkah demikian?



================================================================



Letaknya dipusat kota. Berdiri cukup kokoh mengingat bangunan ini sudah cukup tua. Ada ditengah-tengah hiruk pikuk manusia modern. Walaupun bangunannya sudah tua, tidak berarti orang yang didalamnya juga demikian. Orang-orang yang ada didalamnya adalah pribadi-pribadi yang luar biasa, pribadi yang mengerjakan panggilan mulia dan agung dari SANG PENCIPTA. Pribadi-pribadi yang rela melepaskan cita, harapan, kenikmatan dunia demi PRIBADI yang mereka kasihi, yaitu TUHAN-nya. Pribadi-pribadi yang rela menanggung kesulitan, menanggung penderitaan, rela berjerih lelah, rela disalah mengerti, kadang ditolak, kesemuanya rela ditanggung demi membawa jiwa pada SANG KRISTUS. Mulia bukan tempat ini.

Di tempat ini selalu diadakan ucapan syukur pada Sang KHALIK atas apa yang telah dikerjakannya melalui komunitas ini, ditempat ini pun selalu dinaikkan doa kepada Sang Pemilik Pelayanan atas hal-hal yang akan dikerjakan kedepan. Sebagai wujud penyerahan diri dan kebegantungan penuh kepadaNYA. Tempat ini pun tempat mencurahkan bersama-sama pergumulan yang dihadapi, impian yang diharapkan atau bahkan tempat mencurahkan visi dengan sesama didalamnya. Tempat saling menjaga untuk tidak jatuh dalam dosa, jikalau pun sedang jatuh, orang-orang ini akan bersedia untuk menolong keluar. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tempat ini adalah tempat dimana orang saling mendoakan.

Juga, tempat ini pun menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang didalamnya, selalu ada keriangaan, keceriaan, selalu ada pengertian meskipun kadang sekali-sekali ada perselisihan. Tapi ada nuansa kehangatan keluarga dalam tempat ini. Indah dan nyaman bukan tempat ini.

Ingat sang penghuni tadi?

Begitu nyamannya si penghuni tadi, sampai enggan untuk beranjak dari dalamnya.

Lagi-lagi, sang penghuni tadi menamakan tempat ini “Tempurung Kura-Kura” nya? Benarkah demikian?



= = = = = = = = = = = = =



Mungkin kita bertanya kenapa “tempurung kura-kura”?. Walaupun kura-kura tidak punya gigi, tetapi kura-kura punya rahang yang kuat, dan alat pertahanannya hanyalah tempurungnya. Dua hal ini bagi kura-kura adalah vital mengingat kura-kura lemah. Melalui tempurung, kita bisa tahu banyak banyak hal tentang kura-kura. Tempurung bisa memberi petunjuk bagaimana kura-kura tersebut hidup. Kura-kura darat memiliki tempurung besar dan berbentuk kubah sehingga sulit bagi predator untuk menghancurkan tempurungnya. Adalagi jenis kura-kura akuatik yang tempurung nya datar dan beralur sehingga membantu si-kura kura untuk berenang dengan lincah. Intinya, bagi kura-kura, tempurungnya adalah stabilitas, perlindungan dan pertahanan hidupnya.

Ingat sang penghuni tadi?


Bagi sang penguni tadi, tempurungnya adalah kamar sempit 3x4 meter dan komunitas persekutuan yang dia miliki. Si penghuni salah besar, jika menyandarkan stabilitas & kenyamanan hidupnya pada sebuah kamar sempit, yang jika ditiup angin pun runtuh. Atau pun salah besar jika si penghuni tadi menyandarkan keamanan hidupnya pada tempurung yang sedikit lebih rohani, yaitu komunitas persekutuan yang dia miliki, benarkah ini dapat menjadi tempurungnya yang kokoh, menjaga dia dari godaan dosa atau ini hanya dijadikan tameng karena enggan melawan dunia. Walaupun tidak sepenuhnya salah jika kadang komunitas persekutuan bisa menolong untuk tidak jatuh dalam dosa, tapi jangan jadikan hal itu yang utama. Ada tempurung yang lebih utama dan dapat menjadi tempurung yang kekal bagi sang penghuni tadi dan kita, yaitu TUHAN.

Mungkin hal yang terlewatkan untuk direnungkan bagi sang penghuni tadi adalah, bukannya tempat itu yang menjadi stabilitas dan kenyamanan hidupnya tetapi relasinya dengan Tuhan setiap pagi, keintiman dengan Sang Penciptanya, penyerahan diri atas kehendakNYA, dan segudang pengalaman iman bersama DIA, yang menjadikan tempat itu berarti. Bukan karena tempatnya tapi karena SIAPA yang ada didalamnya dan ada bersamanya.

Bagaimana dengan tempurung yang sedikit rohani, kadang ini yang menjadi saru bagi kita, juga termasuk bagi si penghuni. Tempurung ‘rohani’ ini kadang membuat kita enggan untuk keluar dari nama yang disebut comfort zone. Indah, aman dan nyaman memang jika berada dalam komunitas persekutuan, tapi bukan karena sekedar atmosfir kehangatan keluarga tapi karena memang ada Tuhan didalamnya. Lagi-lagi, kadang kita suka salah mengartikan sebuah keamanan dan stabilitas, tempat lah yang selalu kita jadikan sasarannya, tapi tidaklah demikian. Jikalau pun persekutuan itu demikian besarnya, tapi tidak ada Tuhan dalam pribadi-pribadi orang yang ada didalamnya, maka semuanya itu kan menjadi sia-sia belaka.

Maka, jangan jadikan apapun itu baik tempat, harta-kah, pengetahuan-kah, atau yang sedikit berbau rohani seperti pelayanan, kita jadikan tempurung bagi kita yang lemah. Jadikanlah Tuhan menjadi tempurung kita, tempat kita berlindung dari kerasnya dunia, tempat kita berteduh dari segala badai dan tempat kita mencurahkan banyak hal. Dan kita akan aman didalamNya.


dvqt